Text
Ada seorang gadis di Minggu pagi.
Sudah pukul sembilan pagi, dia belum beranjak dari tempat tidurnya. Berbaring, menatap layar ponsel, jari menggulir linimasa Instagram. Lalu, dia berhenti pada satu foto. Seorang laki-laki, berdiri tegap dengan latar langit biru tanpa awan, tersenyum tipis, tanpa memandang kamera.
Gadis itu, tanpa disadarinya, ikut tersenyum.
Sesungguhnya, gadis itu jatuh hati pada laki-laki ini.
Siapa yang tak jatuh hati dengan laki-laki ini? Dia tampan, tetapi itu bukan faktor utama. Lewat Instagram, dia selalu membagikan pengingat-pengingat baik yang menenangkan hati. Dia selalu mengingatkan para followers untuk tak meninggalkan shalat lima waktu. Suaranya merdu saat melantunkan Alquran. Dari apa yang gadis itu lihat, pemuda itu seperti rajin beribadah, memiliki ilmu agama yang baik, such a husband material every woman needs.
Seringkali, gadis itu membayangkan kehidupan setelah pernikahan, bersama laki-laki itu…
Mendengarkan suara merdu laki-laki itu setiap malam, membacakan surat favoritnya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah membuka Alquran untuk membaca surat favoritnya.
Dibangunkan sebelum azan subuh oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah berusaha untuk shalat subuh, kecuali ketika dia sedang ingin.
Senantiasa diingatkan untuk shalat lima waktu oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu hanya mendirikan shalat ketika dia tak malas.
Merasa teduh membayangkan menjadi istri yang taat pada laki-laki yang taat. Sayangnya, pada orangtuanya, dia bahkan tak pernah belajar menjadi anak yang taat.
Di Minggu pagi itu, dia menuliskan kriteria jodohnya di dalam kepala. Nggak merokok. Harus rajin shalat lima waktu. Paham agama. Pengertian. Nggak emosional. Dan, bla, bla, bla.
Ada seorang gadis lain di Minggu pagi.
Di Minggu pagi itu, gadis yang lain ini tidak menuliskan kriteria jodohnya.
Tetapi, di Minggu pagi itu, gadis yang lain ini membantu ibunya di dapur, memasak sambil berbincang hangat. Usai itu, dia membuka Instagram, berhenti di setiap video kajian. Dia, kemudian, berjanji dengan beberapa temannya untuk menghadiri kajian terdekat. Azan zuhur akan berkumandang, dia persiapkan apa yang harus disiapkan.
Gadis ini tak butuh menulis kriteria jodoh. Dia telah menjadi kriteria jodoh yang baik bagi orang lain. Dan, orang lain ini adalah seorang laki-laki, yang mudah-mudahan baik agamanya, lebih baik dari laki-laki yang gadis pertama idolakan di Instagram.
Lalu, ada seorang gadis, duduk di hadapan ponselnya, detik ini.
Dia sedang membaca tulisan ini. Dan, dia berkata kepada dirinya, “Aku harus berubah jadi baik. Biar bisa dapat jodoh yang baik.”
Lalu, gadis ini hendak beranjak dari tempat tidurnya, ingin melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun, sebelum kau beranjak dari tempat tidurmu, aku ingin berkata kepadamu, “Jangan berubah hanya karena laki-laki.“
Aku sangat mendukung keputusanmu untuk berubah ` lebih baik.
Namun, janganlah kau jadikan laki-laki dan cinta sebagai alasan.
Sebab laki-laki hanyalah manusia. Manusia tidak kekal. Manusia tidak sempurna. Manusia selalu mengecewakan. Dan, cinta hanyalah perasaan. Ia bisa datang dan pergi, seperti cinta dan patah hatimu yang dulu. Ia bisa pudar seperti dia yang pernah berubah tiba-tiba.
Lagi pula, di akhir hidupmu, kau akan berpisah dengan dia yang amat kau cinta.
Di akhir hidupmu, kau akan kembali kepada Dia yang menciptakanmu.
Maka, apakah perubahanmu ini untuk jodoh yang baik, yang tak kekal dan tak sempurna?
Bukannya aku hendak menghakimi, tetapi, bukankah berubah karena masalah jodoh agak terlalu dangkal? Maksudku, cinta dan jodoh hanya bertahan hingga hari akhir hidupmu di dunia ini. Sementara itu, kau masih punya perjalanan panjang yang misterius setelah kematian.
Maka, untuk siapa perubahan baikmu ini?
***